
Blog ini ditulis oleh Yokbeth Felle, dengan kontribusi dari tim WITNESS Asia-Pasifik.
Read the English version here.
Di seluruh Tanah Papua, perjuangan untuk keadilan terus berlangsung, namun sering dibungkam. Di tengah represi, upaya dokumentasi yang dipimpin oleh komunitas menjadi jalur penting untuk menjaga kebenaran, memori, dan perlawanan. Dari arsip yang tidak terpublikasi hingga pendokumentasian akar rumput, tulisan ini mengulas bagaimana komunitas Papua merebut kembali narasi mereka dan membangun alat untuk akuntabilitas jangka panjang. WITNESS telah mendukung upaya komunitas ini melalui pelatihan, penyediaan sumber daya, dan kolaborasi yang membantu mendokumentasikan narasi secara aman dan efektif.
Mendesaknya Dokumentasi
Penghilangan nyawa, perampasan tanah, perusakan lingkungan, dan rasisme sistemik telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari di Tanah Papua—salah satu wilayah yang paling termiliterisasi dan tertindas di Indonesia. Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi secara luas: kebebasan pers diserang, akses internet sering dibatasi, dan jurnalis serta aktivis menghadapi intimidasi, penangkapan, hingga kekerasan. Ini bukanlah kejadian-kejadian yang tidak terhubung, melainkan bagian dari pola represi dan pengabaian negara yang terus-menerus.
Menghadapi berbagai pelanggaran ini, komunitas dan pejuang HAM di Papua menjadikan dokumentasi sebagai alat perlawanan sekaligus sarana bertahan hidup. Melalui kesaksian, rekaman aksi protes, atau arsip yang tidak terpublikasi, tindakan mengingat ini harus terus dilakukan untuk memastikan bahwa kebenaran tetap hidup.
Unjuk rasa di Papua menuntut keadilan dan penghentian rasisme. Foto milik Yokbeth Felle | Tanggal dan lokasi tidak disebutkan.
Dari Protes Menjadi Bukti: Tumbuhnya Dokumentasi Berbasis Komunitas
Sejak era Orde Baru di bawah Presiden Soeharto dari tahun 1967 hingga 1998, Tanah Papua mengalami dekade kekerasan negara, represi, dan militerisasi. Warisan ini berlanjut hingga hari ini di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, seorang mantan jenderal yang dibentuk oleh aparat militer Orde Baru, yang pemerintahannya justru memperparah operasi militer di wilayah pegunungan tengah, menyebabkan pengungsian massal, trauma, dan pelanggaran HAM yang terus berlanjut. Dalam situasi ini, upaya dokumentasi, perlawanan, dan advokasi untuk keadilan menjadi semakin mendesak.
Sebagai respons atas kekerasan yang berlangsung selama puluhan tahun, lembaga-lembaga advokasi seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, ELSHAM Papua (Lembaga Studi dan Advokasi Hak Asasi Manusia Papua), dan Justice, Peace and Integrity of Creation Ordo Fransiskan (JPIC OFM Papua) didirikan untuk memberikan dukungan hukum dan kemanusiaan. Di samping upaya formal ini, komunitas di seluruh Papua juga turun ke jalan untuk memprotes, menyuarakan ketidakadilan, dan membagikan kesaksian mereka. Seiring dengan semakin mudahnya akses terhadap teknologi, terutama sejak awal tahun 2000-an, semakin banyak aktivis dan jurnalis yang menggunakan ponsel untuk mendokumentasikan kisah mereka, menyebarkan bukti kekerasan, dan menegaskan keberadaan mereka dalam catatan publik, seringkali dengan risiko besar.
Upaya paralel antara advokasi formal, perlawanan akar rumput, dan dokumentasi sehari-hari ini telah membentuk ekosistem yang kuat dan terus berkembang untuk penegakan kebenaran, ketahanan komunitas, dan memori kolektif di tengah upaya pembungkaman yang terus-menerus.
Sejak tahun 1999, JPIC OFM Papua secara konsisten mendokumentasikan pelanggaran HAM di Tanah Papua melalui laporan tahunan bertajuk Memoria Passionis Di Papua. Setiap edisi mengangkat tema yang berbeda, disesuaikan dengan situasi dan pelanggaran yang terjadi di tahun tersebut. Pada April 2025, JPIC OFM meluncurkan edisi ke-43 dengan judul “Tong Bicara Tapi Tong Jalan Terus”, sebuah refleksi kritis oleh enam penulis yang membahas situasi HAM, kondisi sosial-politik, dan realitas sosial-ekonomi Papua sepanjang tahun 2024. Dalam peluncurannya, dosen filsafat dan teologi dari STFT Fajar Timur Jayapura, Ignasius Ngar, menyatakan bahwa karya JPIC OFM merupakan upaya sadar dan penting untuk menjaga memori kolektif suatu bangsa yang kenyataan hidupnya jauh dari kata damai.
Pernyataan ini mengajak kita merenung lebih dalam: mengapa menjaga memori kolektif menjadi begitu penting dalam konteks Papua?
Infografik dari laporan Amnesty International berjudul “DON’T BOTHER, JUST LET HIM DIE (Jangan Pedulikan, Biarkan Saja Dia Mati)” menunjukkan kasus pelanggaran HAM di Papua (2010–2018), sebagian besar melibatkan aparat keamanan dan ditandai oleh impunitas yang meluas.
Ingatan sebagai Perlawanan: Mengapa Kita Merekam
Merawat ingatan kolektif di Papua adalah hal vital di tengah represi politik dan penghapusan sejarah yang terus berlangsung. Orang Papua terus berjuang untuk penentuan nasib sendiri di bawah hubungan yang banyak dianggap kolonial dengan negara Indonesia. Kekerasan militer selama puluhan tahun telah menimbulkan trauma lintas generasi, sementara hilangnya tanah adat memutus ikatan budaya dan spiritual. Pendatang non-Papua kian mendominasi, sementara identitas asli Papua makin terpinggirkan. Rasisme sistemik terus merendahkan nilai hidup dan suara orang Papua. Dalam konteks ini, mendokumentasikan adalah bentuk perlawanan, untuk menyatakan: Kami ada. Ini terjadi. Dan dunia tak boleh berpaling.
Salah satu kasus yang menjadi simbol adalah insiden rasisme tahun 2019 terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, yang disebut “monyet” dan diteriaki “Usir orang Papua.” Menurut data dari TAPOL, setidaknya 61 warga sipil terbunuh, termasuk 35 orang Papua—30 di antaranya karena luka tembak yang diduga dilakukan oleh aparat keamanan. Lebih dari 284 orang terluka, banyak yang tidak berani ke rumah sakit karena takut ditangkap. Sebanyak 22.800 orang mengungsi, termasuk lebih dari 11.000 dari Wamena dan 6.000 mahasiswa Papua yang kembali dari seluruh Indonesia. Penindasan ini juga menyebabkan 1.017 penangkapan, dengan 157 menjadi tahanan politik dan 22 orang didakwa makar.
“Saya tahu saya punya hak hukum untuk menolak segala bentuk rasisme. Negara ini menyediakan ruang untuk belajar, dan saya telah mempelajari konstitusinya, slogannya, dan Pancasila. Tapi mengapa perjuangan saya untuk kesetaraan, kemanusiaan, keadilan sosial dan kebebasan justru dibalas dengan senjata dan penjara? Saya percaya bahwa hak untuk berbicara dan didengar adalah hak konstitusional dan hak asasi manusia. Saya menjalankan hak itu secara damai, tanpa merugikan siapapun. Saya percaya melawan rasisme adalah hak dan juga kewajiban bagi siapa pun yang peduli pada keadilan sosial dan HAM.” – Aktivis Papua (nama disamarkan)
Media Komunitas Menggunakan Kamera untuk Perlawanan
Pasca protes 2019, Papuan Voices—kolektif media audiovisual lokal—memainkan peran penting dalam mendokumentasikan aksi-aksi dan proses hukum terhadap para aktivis yang didakwa makar. Dokumentasi mereka dari tahun 2019 hingga 2023 melahirkan film dokumenter berdurasi 35 menit berjudul “Hukum yang Tra Jelas di Tanah Papua.”
Film ini menjadi alat penting untuk pendidikan dan refleksi atas pentingnya mendokumentasikan kekerasan dan ketidakadilan di Papua. Advokasi terkait kasus aktivis politik Victor Yeimo, termasuk kontribusi dalam film tersebut, menegaskan pentingnya merekam setiap momen, terutama yang cepat berlalu dan tak bisa diulang. Salah satu momen penting adalah ketika Victor dibawa ke pengadilan di bawah penjagaan ketat bersenjata, diperlakukan seolah-olah ia seorang teroris. Momen ini direkam menggunakan kamera ponsel dengan perhatian pada stabilitas gambar, pencahayaan, kontras, dan kualitas suara di tengah risiko tinggi.
Papuan Voices tak hanya menggunakan data primer, tapi juga mengumpulkan rekaman sekunder dari demo di Manokwari, Fakfak, dan Sorong, serta menyimpannya dengan aman sebelum pemadaman internet dan penindasan pada 2019. Semua ini diarsipkan dalam hard drive dan kemudian diedit menjadi dokumenter.
Proses ini mencerminkan meningkatnya kesadaran di kalangan pendokumentasi komunitas tentang pentingnya tidak hanya merekam kejadian secara langsung, tetapi juga menjaga hasil dokumentasi untuk jangka panjang—dua pilar utama dalam strategi dokumentasi yang dikembangkan oleh WITNESS secara global. Untuk mendukung tujuan ini, WITNESS menyediakan berbagai sumber daya praktis seperti Video as Evidence Field Guide dan Activists’ Quick Guide to Archiving Video. Media visual, terutama jika diarsipkan dengan aman dan diverifikasi, memiliki kekuatan untuk menantang narasi resmi, menjaga kebenaran, dan mendukung upaya keadilan di masa depan.
Dari Festival ke Garis Depan
Munculnya wahana film komunitas seperti West Papua Mini Film Festival dan Papuan Film Festival menegaskan bahwa penceritaan berbasis komunitas adalah strategi kuat untuk merebut kembali narasi Papua. Festival-festival ini memberi ruang penting bagi sineas asli Papua untuk menyuarakan perspektif mereka, menantang narasi negara, dan membudayakan keberanian berkata jujur melalui seni.
West Papua Mini Film Festival diselenggarakan bersama West Papua Project dari University of Wollongong, Australia, sementara Papuan Film Festival digelar secara lokal oleh Papuan Voices dan jejaring komunitasnya. Keduanya menekankan partisipasi generasi muda, keterlibatan masyarakat, dan ketahanan budaya.
“Saya rasa penting sekali bagi dunia untuk tahu apa yang terjadi di Papua, karena pelanggaran HAM terjadi setiap hari dan di mana-mana.” —Victor Mambor
Festival Film Papua, yang pertama kali diselenggarakan di Merauke, Papua pada tahun 2017, merayakan cerita-cerita akar rumput dan mengangkat suara-suara Papua melalui film. Kredit: Papuan Voices.
Victor Mambor, pendiri media Jubi, adalah contoh nyata risiko yang dihadapi jurnalis Papua. Meskipun menerima Oktovianus Pogau Award atas keberaniannya, ia berulang kali menjadi sasaran. Pada Januari 2023, sebuah bom meledak di luar rumahnya di Jayapura, setelah sebelumnya mobilnya dirusak pada 2021. Hingga kini, tidak ada tersangka yang ditangkap. Mambor, yang juga berkontribusi dalam dokumenter Al Jazeera tentang perusakan hutan di Papua, tetap melanjutkan kerja jurnalistiknya, menegaskan bahwa orang Papua berhak untuk bercerita. Karyanya menarik perhatian tidak hanya di Indonesia, tapi juga di kawasan Pasifik, di mana ia turut mendirikan Melanesian Media Freedom Forum.
Membangun Arsip, Merawat Ingatan
Sejak lama, pelestarian ingatan dan advokasi di Papua dilakukan lewat kerja sama antara NGO dan jaringan gereja. Bernard Koten dari JPIC OFM, misalnya, mulai mendokumentasikan pelanggaran HAM menggunakan alat sederhana seperti perekam MP3, kamera foto, handycam, hingga kamera digital. Salah satu film awal mereka mendukung perjuangan mendirikan pasar tradisional bagi mama-mama Papua di Jayapura (Pasar Mama-Mama). Walau sebagian besar dokumentasi awal ini belum dipublikasikan atau hanya diarsipkan offline karena alasan keamanan, dampaknya tetap terasa hingga kini.
JPIC OFM Papua telah mengembangkan dan memelihara sistem arsip yang kuat untuk menjaga dokumentasi mereka. Catatan fisik disimpan di ruang arsip dan perpustakaan khusus, sementara file digital dicadangkan secara aman di platform berbasis cloud seperti Mega.nz dan Google Drive. Materi-materi ini tidak hanya disimpan, tetapi juga dibagikan kepada mitra dan dapat diakses publik, menunjukkan komitmen terhadap transparansi dan memori kolektif. Pendekatan ini mencerminkan gerakan global yang lebih luas, sebagaimana terlihat dalam banyak inisiatif akar rumput yang didukung oleh WITNESS, yang mengutamakan arsip yang aman, mudah diakses, dan dimiliki oleh komunitas untuk melindungi bukti serta memperkuat narasi mereka yang paling terdampak oleh ketidakadilan.
Solidaritas Global dan Keadilan Jangka Panjang
Upaya solidaritas internasional, seperti yang dilakukan TAPOL, juga memperkuat dokumentasi dan advokasi. Melalui inisiatif Papuans Behind Bars, TAPOL memantau dan mempublikasikan data tentang tahanan politik Papua, mengangkat kisah mereka yang dikriminalisasi karena menyampaikan pendapat. Laporan rutin dan basis data online TAPOL melengkapi bukti visual komunitas dengan informasi terstruktur yang dapat digunakan dalam advokasi dan intervensi hukum internasional.
Sejalan dengan itu, WITNESS telah mengembangkan sumber daya khusus untuk konteks Papua. Panduan Merekam Aksi Protes di Papua memberikan panduan praktis tentang cara merekam dengan aman dan etis di situasi berisiko tinggi, termasuk pertimbangan hukum, perlindungan identitas, keamanan data, dan keselamatan bagi pendokumentasi dan yang didokumentasikan.
Penutup: Dokumentasi sebagai Perlawanan dan Harapan
Di tanah di mana kesunyian sering dipaksakan dan kebenaran ditekan, upaya gigih inisiatif dokumentasi berbasis komunitas di Tanah Papua untuk merekam, menyimpan, dan membagikan realitas kehidupan orang Papua menjadi bentuk perlawanan yang sangat kuat. Upaya ini bukan sekadar menjaga memori—tetapi juga menjadi alat strategis dalam perjuangan berkelanjutan untuk kebenaran dan akuntabilitas. Meski keadilan mungkin datang terlambat, dokumentasi memastikan bahwa kebenaran tetap terjaga dan siap mendukung aksi saat waktunya tiba. Jika digunakan secara strategis, dokumentasi mampu membuka tabir pelanggaran, menantang impunitas, dan menjadi fondasi bagi perubahan yang bermakna.
Sebagai bagian dari gerakan global ini, WITNESS membantu masyarakat menggunakan video dan teknologi untuk melindungi serta membela hak asasi manusia—dengan memastikan bahwa komunitas memiliki alat untuk menceritakan kisah mereka sendiri dan memperjuangkan keadilan yang mereka layak dapatkan.
Untuk yang berada di garis depan—para aktivis, komunitas, dan penyelenggara—kerja mereka sangat berarti. Teruslah Aman, Etis, dan Efektif. Setiap gambar, kesaksian, arsip dan dokumentasi memperkuat upaya kolektif untuk menghormati pengalaman yang telah dijalani dan mendorong terwujudnya keadilan yang mungkin dan masih akan datang.
Jika ingin tetap mendapatkan informasi terbaru dan lebih siap dalam menghadapi tantangan, berikut beberapa panduan yang dapat diakses:
Yokbeth Felle adalah seorang aktivis HAM di Papua yang berfokus pada isu-isu perempuan. Saat ini, ia bekerja sebagai peneliti lepas yang mendukung berbagai organisasi dalam mengkaji tantangan di bidang pendidikan dan kesehatan di Papua. Yokbeth juga terlibat dalam proses dokumentasi sejumlah film tentang pelanggaran HAM di wilayah tersebut. Aktivismenya meluas hingga ke ruang digital, di mana ia menggunakan berbagai platform online untuk mengadvokasi pembebasan perempuan sekaligus perjuangan lebih luas untuk penentuan nasib sendiri bagi rakyat Papua.
Dipublikasikan tanggal 17 Juli 2025.